Mengapa Tionghoa Pilih Berdagang Ketimbang Politik | Budaya | Cina merupakan populasi penduduk terbesar di dunia ini. Bahkan diseluruh penjuru dunia, etnis tionghoa (sebutan orang Cina) pasti ada. Bahasa Cina pun sudah menjadi bahasa Internasional. Namun, dari sekian banyak warga keturunan Tionghoa, kehidupan mereka selalu identik dengan berdagang atau pebisnis. Benarkah demikian?
Pada kesempatan yang indah ini, dan kebenaran Tahun Baru Cina (Gong Xi Fa Cai) tahun 2012, Catatan ringan si Bos kali ini akan mengulas Mengapa Tionghoa Pilih Berdagang Ketimbang Politik (tulisan ini bersumber dari http://www.tempo.co/read/news/2012/01/22/078378879/Mengapa-Tionghoa-Pilih-Berdagang-Ketimbang-Politik) semoga ini bisa menambah wawasan kita.
Warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang memilih berkarier sebagai politikus atau militer bisa dihitung memakai jari. Bisa dipastikan mayoritas dari mereka memilih berdagang saja ketimbang menekuni pekerjaan di luar itu.
Menurut Ketua Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa Esther Yusuf, warga Tionghoa umumnya memiliki trauma besar untuk turut ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, misalnya ikut serta dalam kegiatan politik atau menjadi abdi negara sebagai pegawai negeri sipil.
Trauma ini muncul akibat tindakan diskriminasi yang dialami etnis tersebut pada masa lalu. "Dulu ada yang berpolitik lalu dibunuh karena dianggap orientasinya dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Ketua Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa, Esther Yusuf, Sabtu, 21 Januari 2012.
Menurut Esther, trauma itu telah menjadikan peringatan keras bagi etnis Tionghoa untuk melangkah ke depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. "Tidak ada jaminan keamanan sekarang (bagi etnis Tionghoa)," kata Esther.
Meskipun, aturan, landasan hukum, atau perundang-undangan di Indonesia sudah sangat jelas. Misalnya dengan undang-undang yang mengatur tentang penghapusan diskriminasi, UU Kewarganegaraan, dan UU Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya, kata Esther, saat ini tidak ada yang menghalangi orang-orang dari etnis Tionghoa untuk ikut andil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kecuali adanya pikiran negatif dan pertimbangan pribadi dari orang-orang etnis Tionghoa tentang trauma besar itu. "Ada berbagai kemungkinan, apakah dia takut atau apa," ucapnya.
Sejauh ini, menurut Esther, yayasannya sudah menerima berbagai laporan tentang tindakan rasialisme dan diskriminasi yang dialami oleh orang-orang etnis Tionghoa. Namun, kata dia, laporan itu belum tentu benar menjurus pada tindakan rasialisme. "Tapi indikasi itu yang mesti dibuka secara tegas," ujarnya.
Sejarawan dari Komunitas Bambu JJ Rizal menambahkan trauma itu kian diperparah dengan tindakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Indonesia di masa lalu dianggap sebagai penyebab munculnya trauma besar bagi etnis Tionghoa di negeri ini.
Trauma itu kemudian mengakibatkan ketakutan etnis Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. "Cina dianggap bagian dari komunis. Ini terkait dengan orientasi politik pada masa itu," ujar dia.
Akibatnya, saat ini ada ketakutan dari orang-orang etnis Tionghoa untuk ikut serta dalam kancah politik di bangsa ini. Ketakutan ini juga muncul akibat adanya istilah yang dikeluarkan sejarawan Ong Hok Ham tentang perlakuan yang dialami etnis Tionghoa pada masa lalu, terutama terkait dengan peran etnis itu pada masa kolonial. "Ada istilah khusus jadi sapi perahan," ucap Rizal.
Rizal mengatakan saat ini yang harus dilakukan pemerintah adalah mempercepat proses penghapusan trauma itu. "Karena itu, proyek pelajaran multikulturalisme kian penting," kata dia.
Selain itu, ujarnya, dalam bidang pendidikan, khususnya buku sejarah, mestinya dimasukkan peran etnis Tionghoa dalam perjuangan nasionalisme Indonesia. Sebab, sejauh ini tidak ada buku sejarah yang menyebut peran orang Cina dalam sejarah Indonesia.
"Jadi, orang Cina berpikir kalau dia tidak dianggap," ucap Rizal. Meski begitu, kata dia, sudah ada tanda positif terhadap pengakuan peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia, yakni dengan penetapan John Lee yang beretnis Tionghoa sebagai pahlawan nasional.
Boleh jadi, karena tidak ada pilihan lain, kata perwakilan Komunitas Glodok Hermawi Taslim, banyak etnis Tionghoa yang memilih profesi sebagai pedagang karena takut berpolitik.
"Karena itu tidak ada pilihan lain. Berdagang kan tidak ada aturannya," ucap Hermawi. "Selain juga karena sejak awal kolonial Belanda memposisikan etnis Tionghoa sebagai perantara. Posisinya memang dibuat seperti itu, mereka disebut hantu uang." (Tempo Interaktif, Tempo.co).
Itulah catatan ringan si Bos mengenai Mengapa Tionghoa Pilih Berdagang Ketimbang Politik. Tak lupa kami mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek.
0 Comments
Thank you for your comment, I hope you get something from the presentation of this blog.
Tinggalkan Jejak Bos-Bos di Kolom Komentar. Biar Kita Saling Berbagi Pengalaman