Ad Code

Ticker

6/recent/ticker-posts

12 Film Hollywood Bersuasana Natal - Sebuah Resensi FIlm

12 Film Hollywood Bersuasana Natal. Natal tinggal di depan mata nih. Apakah Anda sudah mempersiapkan diri untuk menyambut hari Natal yang indah ini. Tentunya betemu keluarga, dan saling melepas rindu bukan.

Nuansa Natal tidak komplit kalau tidak nonton bareng bersama keluarga. Apalagi yang di tonton adalah film-film yang bernuasan Natal, kebersamaan dan keharmonisan serta canda gurau akan semakin mencairkan suasana natal yang begitu kaku. Tentunya dibarengi tertawa bersama-sama (nonton film komedi) atau menangis bersama-sama, bahkan teriak bersama-sama karena filmnya seru. Btw jangan lupa lihat tetangga yah kalao teriak... heheeheh.

Oh iya, kali ini kita akan membahas tentang 12 Film Hollywood Bersuasana Natal. Tulisan ini merupakan resensi film. Semoga resensi ini bermanfaat buat Anda dan bisa menemari nuansa natal Anda. Tak lupa BOS RINGO mengucapkan SELAMAT NATAL 25 Desember 2011. Tuhan memberkati.

Resensi Film oleh : Arie Saptaji


Setiap tahun Hollywood selalu saja merilis film-film Natal atau berlatar Natal. Namun, kalau Anda mengharapkan film-film itu memaparkan atau mengacu pada kisah kelahiran Kristus, Anda hanya akan kecewa. Hollywood lebih memilih kisah-kisah yang memiliki daya tarik "universal" (baca: lebih bisa diterima oleh berbagai kalangan). Alhasil, sosok yang diasosiasikan dengan Natal pun bukan lagi Bayi dari Bethlehem, melainkan Sinterklas dari Kutub Utara.

Toh, di tengah ilalang film-film Natal tanpa Kristus itu kita masih dapat menemukan beberapa butir gandum yang berharga. Berikut ini 12 film Hollywood yang bisa menyemarakkan, dan semoga menambah nilai, perayaan Natal Anda. (Dinikmati di luar masa Natal pun tak masalah!)

It's a Wonderful Life (Frank Capra, 1946).
Sebuah film klasik, dan film Natal terbaik. Ini sekaligus film Natal paling religius meski tanpa referensi spesifik terhadap Kekristenan.

George Bailey terpaksa melupakan impian masa mudanya dan tetap tinggal di Bedford Fall untuk melanjutkan usahanya ayahnya, membangun rumah murah bagi keluarga-keluarga kurang mampu. Suatu saat menjelang Natal, perusahaannya terancam bangkrut. Frustasi, ia nyaris memberi hadiah Natal yang muram bagi keluarganya: bunuh diri. Datanglah seorang malaikat membatalkan niatnya, dan memberinya sebuah kesempatan langka: Melihat keadaan kotanya seandainya ia tidak pernah dilahirkan.

George pun tersadarkan bahwa kehidupannya ternyata telah menyentuh sekian banyak orang. Kesadaran akan makna hidup seperti ini tentunya tidak akan "bunyi" dalam dunia yang tidak mengakui keberadaan Sang Khalik, yang menciptakan dan menetapkan tujuan hidup kita.

A Christmas Story (Bob Clark, 1983)
Kata kunci film ini adalah: Nostalgia. Seorang anak kecil, Ralphie, sangat menginginkan pistol-pistolan Daisy Red Ryder 200 untuk hadiah Natalnya. Kisah ini berlatar kehidupan di kota Indiana, AS, pada 1940-an. Kegigihan Ralphie – dengan cara-cara khas anak kecil – untuk mendapatkan hadiah itu menimbulkan berbagai kejadian menggelikan. Dan sang ayah, meski kelihatannya berjarak dan galak, nyatanya mengendus apa yang paling diinginkan anaknya.

A Christmas Story sangat populer di Amerika. Pada Natal 2003, misalnya, saluran kabel TNT memutarnya tujuh kali berturut-turut dari pukul 05.00! Menontonnya, Anda bisa membandingkannya dengan pernik-pernik suasana Natal tempo doeloe di tengah keluarga Anda sendiri.

Mickey's Christmas Carol (Burny Mattison, 1983)
Animasi 25 menit ini menandai penampilan kembali Mickey Mouse setelah "menghilang" selama 30 tahun. Ia menjadi Bob Cratchit dalam kisah yang diadaptasi dari novel Charles Dickens.

Kisah agak muram ini menjadi riang saat dibawakan oleh tokoh-tokoh Disney. Selain Miki, ada Paman Gober sebagai Ebenezer Scrooge (nama Gober dalam bahasa Inggris adalah Scrooge!), Gufi sebagai hantu Marley, Donal sebagai Fred, dst. Setelah mengalami pertemuan dengan tiga hantu Natal, Scrooge mengalami perubahan dari kikir menjadi dermawan. Asyik untuk ditonton bersama anak-anak kecil.

Miracle on 34th Street (Les Mayfield, 1994)
Film ini adalah pembuatan ulang film berjudul sama produksi 1947. Miracle membelitkan dua pesan. Yang pertama adalah anti-komersialisme. Kriss Kringle, Sinterklas di swalayan Cole, memilih mengutamakan kepentingan anak-anak ketimbang laba bagi perusahaan. Ia bersikap jujur pada mereka, sekalipun itu berarti menyuruh mereka membeli mainan di toko lain, yang menjualnya dengan harga lebih murah. Ternyata pendekatan ini justru meningkatkan citra Cole di mata pelanggan.

Pesan kedua adalah pertarungan antara iman dan skeptisme. Semula isu ini hanya tampil dalam tataran pribadi, lewat sosok ibu tunggal yang membesarkan putrinya secara "lurus": tidak mempercayai mitos apa pun, termasuk Sinterklas. Isu ini lalu diangkat ke tataran massal ketika pada babak ketiga plot menikung tajam dengan membawa Kriss Kringle ke pengadilan. Kriss, yang mengaku dirinya Sinterklas asli, harus membuktikan bahwa dirinya tidak gila. Sinterklas di sini adalah simbol fenomena supranatural seperti mukjizat dan bahkan – ya, keberadaan Tuhan. Ada hal-hal yang tidak bisa diterangkan dengan logika dingin penalaran manusia, namun hanya bisa dipercayai dengan iman.

Contact (Robert Zemeckis, 1997)
Isu serupa juga muncul dalam film fiksi ilmiah Contact (Robert Zemeckis, 1997). Ellie Arroway, tokoh utamanya, mesti membuktikan telah melakukan perjalanan antargalaksi, namun tak seserpih pun tanda dapat ditunjukkannya. Contact memilih pendekatan plot terbuka. Sebaliknya, Miracle, meski dalam besutan komedi, melontarkan jawaban yang tegas dan telak.

Menarik, terlebih kalau kita mengingat bahwa peristiwa Natal itu sendiri adalah sebuah Mukjizat Agung.
***
Selain film-film Natal seperti di atas, ada pula film-film yang menggunakan Natal sebagai latar, seperti Lethal Weapon (Richard Donner, 1987), Die Hard (John McTiernan, 1988) dan Home Alone (Chris Columbus, 1990) serta sekuelnya.

Dalam beberapa film, penggunaan latar Natal ini cukup signifikan. Stalag 17 (Billy Wilder, 1953) menuturkan upaya para tawanan perang untuk tetap memelihara moril, digarap dengan sentuhan humor yang memikat. Perayaan Natal menyimbolkan sukacita dan pengharapan yang menyembul di tengah kepengapan kamp penjara.

Dalam Catch Me If You Can (Steven Spielberg, 2002), Natal melatari titik balik dalam diri Frank Abagnale Jr., si "anak hilang" yang menemukan figur ayah dalam diri polisi yang mengejarnya.Radio (Mike Tollin, 2003), sebuah film yang diangkat dari kisah nyata, juga menampilkan serangkaian adegan Natal menyentuh.

Vinyet ketiga Meet Me in St. Louis (Vincente Minnelli, 1944) secara khusus memotret suasana musim dingin, yang berpuncak pada perayaan Natal. Judy Garland menembangkan Have Yourself a Merry Little Christmas di dekat jendela dan 'Tootie' menumpahkan rasa frustasi atas keputusan sang ayah untuk pindah dari St. Louis dengan menghantami patung-patung salju di halaman. Dan, siapa bisa melupakan Natal-Natal dalam Little Women (Gillian Armstrong, 1994), khususnya saat Beth mendapatkan hadiah piano? ***

Alternatif:
Millions (Danny Boyle, 2004)
Children of Men (Alfonso Cuarón, 2006)
Polar Express (Robert Zemeckis, 2004)
A Christmas Carol (Robert Zemeckis, 2009)
Elf (Jon Favreau, 2003)

Post a Comment

0 Comments